Menuju konten utama

Kesalahan Kemenkeu Saat Ajukan PK Putusan Swastanisasi Air Jakarta

Koalisi aktivis menilai langkah Kemenkeu mengajukan PK atas Putusan MA soal swastanisasi air di Jakarta mengabaikan konstitusi.

Kesalahan Kemenkeu Saat Ajukan PK Putusan Swastanisasi Air Jakarta
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggelar aksi mandi dan mencuci bareng di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis, (22/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mengkritik langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan penghentian swastanisasi air di DKI Jakarta.

Kuasa hukum (KMMSAJ) Arif Maulana menilai Kemenkeu melakukan sejumlah kesalahan besar dengan mengajukan PK tersebut.

Kesalahan utama, menurut Arif, dengan mengajukan PK, Kemenkeu telah melawan konstitusi dan kehendak masyarakat. Sebab, pasal 33 UUD 45 tegas menyebut pengelolaan air harus ada di tangan negara.

"Dan sudah dipertajam dalam putusan Mahkamah Konstitusi terakhir tahun 2015 dalam Undang-Undang Sumber Daya Air yang sudah dibatalkan, dan dalam kasus khusus yakni di DKI Jakarta ada putusan Mahkamah Agung," kata Arif di Kantor LBH Jakarta, pada Senin (7/5/2018).

Kemenkeu mengajukan PK atas putusan MA Nomor 31 K/Pdt/2017, yang memenangkan gugatan KMMSAJ dan memerintahkan Pemprov DKI Jakarta menyetop kerja sama dengan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dalam pengelolaan air di ibu kota.

Memori PK itu diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 Maret 2018. Dalam memori tersebut, Kemenkeu mengajukan empat poin keberatan. Pertama, pertimbangan hukum MA dinilai bertentangan dengan karakteristik gugatan warga negara atau Citizen Law Suite di Indonesia.

Kedua, pertimbangan hukum MA dianggap melampaui hakikat gugatan Citizen Law Suite di Indonesia. Ketiga, hakim MA dianggap keliru dalam memutus lantaran surat kuasa yang diajukan penggugat atau koalisi masyarakat sipil cacat hukum. Keempat, Kemenkeu menilai ada pencampur adukan antara tuntutan perdata dan tuntutan pembatalan keputusan tata usaha negara di putusan MA.

Arif Maulana menambahkan upaya Kemenkeu mengajukan PK juga akan memperpanjang waktu penyelesaian masalah swastanisasi air di Jakarta. Padahal, menurut dia, swastanisasi air jelas mengabaikan konstitusi dan mengakibatkan kerugian negara dan masyarakat.

Menurut Arif, langkah Kemenkeu untuk membatalkan putusan MA itu juga mengabaikan perannya sebagai bendahara negara. Padahal, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat PT PAM Jaya mengalami kerugian Rp1,4 Triliun sejak Februari 1998 hingga Desember 2015.

"Sebagai seorang bendahara negara harusnya Kemenkeu mengelola keuangan negara berdasarkan pinsip-prinsip efisien ekonomis efektif dan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan bernegara. Ini mandatnya dia dalam Undang-Undang Keuangan Negara," kata Arif.

Arif berpendapat Kemenkeu tidak memiliki alasan kuat untuk mengajukan PK. Dia menilai semua poin yang dipermasalahkan Kemenkeu tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

"Mempersoalkan prosedur gugatan warga negara? Gugatan warga negara sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, bahkan kajian dari Mahkamah Agung," kata Arif.

Aktivis Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Tigor Hutapea juga menilai empat poin dalil Kemenkeu dalam mengajukan PK sama sekali tidak menyinggung substansi gugatan KMMSAJ, yakni air sebagai hak publik.

"Tidak ada substansi yang dibahas, dia hanya mempermasalahkan terkait dengan prosedur. Tidak ada substansi apa pun yang kuat untuk mengatakan swastanisasi air boleh," kata Tigor.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani segera mencabut permohonan PK tersebut. Mereka juga meminta MA menolak permohonan PK dari Kemenkeu.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom